
Bila Anda berada di Solo jangan lupa berkunjung ke sentra batik di Kampung Batik Laweyan. Begitu pesan beberapa kawan kepada sahabatnya yang belum pernah datang ke Solo. Memang betul anjuran itu yang sebenarnya sudah sering sehat dengan reiki dengar dari sahabat baik itu di forum blog, milis ataupun di pertemuan rutin dalam keseharian kerja, di mana sahabat yang pernah datang ke Laweyan ini menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Kampung Batik Laweyan. Apa yang akan diceritakan kalau bukan soal batik.
Sebenarnya Kampung Batik Laweyan sudah terkenal sejak awal kemerdekaan republik ini. Bahkan jauh sebelum itu kampung Laweyan sudah mengukir sejarah dengan munculnya Serikat Dagang Islam ( SDI ) yang dibentuk oleh KH Samanhudi, salah satu saudagar batik terkemuka. Lewat SDI inilah nafas Islam menjadi bagian yang penting dalam perdagangan di Indonesia. Di wilayah ini pula berdiri bangunan Mesjid Laweyan yang konon dibangun pada tahun 1546 Masehi.
Secara geografis Kampung Batik Laweyan berada di Solo Barat dan Selatan Kota Solo. Kawasan ini sejak dulu terkenal sebagai sentra industri batik. Keberadaan sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajang tahun 1546 Masehi. Karena terkenal dengan produksi batiknya maka kampung ini segera menjadi ikon batik pedalaman khususnya di Pulau Jawa di samping batik pesisir produksi Pekalongan, Lasem, Cirebon dan Indramayu. Kampung ini secara cepat menjadi ikon melegenda dan memantapkan diri sebagai pusat kejayaan perkembangan seni batik di kota Solo.
Letak Kampung batik Laweyan sebelah timur berbatasan dengan Kampung Jagalan Bumi Laweyan. Sebelah selatan dibatasi Kali Jenes dan paling barat Kampung Kwanggan. Sebelah utara terdapat ruas jalan Dr. Rajiman yang membentang dari Pasar Jongke hingga Pasar Kabangan. Di ruas utama kampung Batik Laweyan ada jalan Sidoluhur yang diapit bangunan legendaris bertembok tinggi milik para saudagar batik yang pernah mendapat julukan Mbok Mase dan nDoro Nganten Kakung.
Para saudagar batik tadi membuat batik dengan menggunakan cap atau canting sebagai peralatan kerja. Dalam proses pembuatannya menggunakan lilin yang ditorehkan di kain putih. Lilin atau malam digoreskan menggunakan cap tembaga atau canting. Karena dibuat dengan cap maka dinamakan batik cap sedangkan yang menggunakan canting disebut batik carik atau batik tulis. Malam atau lilin ini melekat dikain putih lalu dalam proses pengerjaannya disertakan warna untuk memperindah corak motif batik.

Selama masa pembuatan hingga selesai dipasarkan melibatkan tenaga kerja dari penduduk sekitar Laweyan. Tenaga kerja ini disebut buruh batik. Upaya promosi selanjutnya melalui stiker yang ditempelkan di kain batik yang sudah jadi. Selanjutnya batik dipasarkan di toko batik atau dijual dalam partai besar di Pasar Klewer. Upaya promosi juga dilakukan untuk mengangkat citra batik diantaranya melalui brosur dan sekarang ini menggunakan media internet sehingga penduduk negara lain akan tahu keberadaan batik sebagai hasil karya adiluhung bangsa Indonesia khususnya budaya Jawa.
Hal ini ternyata tidak sia-sia ketika Unesco mengakui batik sebagai warisan budaya Indonesia. Melalui Unesco keberadaan batik telah mendapatkan tempat secara internasional. Adanya pengakuan ini berarti batik telah mendapatkan pasar luar negeri terbukti dengan banyaknya turis asing atau domestik yang berkunjung ke Kampung Batik Laweyan untuk berbelanja sekaligus melihat jalannya proses produksi batik.
Dari kalangan pengusaha pengakuan ini seharusnya direspon pemerintah dengan segera menerbitkan undang-undang yang melindungi para pengusaha batik. “Misalnya perlu ditunjukkan definisi batik yang sebenarnya. Jika prosesnya tidak menggunakan lilin bukan termasuk batik,” tutur Widiarso, Pengurus Forum Kampoeng Batik Laweyan sebagaimana dikutip Joglosemar beberapa waktu lalu.
Jika hal itu dilakukan akan bermunculan industri-industri kreatif baru khususnya dalam pembuatan batik.
Di Kampung Klaseman tempat sehat bersama reiki menghabiskan waktu kecil hingga sekolah lanjutan atas, penduduknya pun kebanyakan bekerja sebagai buruh batik. Ada yang bekerja sebagai tukang cap batik, tukang tolet, nglorot, buruh cuci batik dan pembatik kain tulis yang umumnya dikerjakan oleh ibu-ibu. Mereka bekerja di pabrik batik dan ada juga yang membawa bahan batik untuk di kerjakan di rumah masing-masing. Umumnya pekerja ini bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore. Terkadang malam hari ada juga yang bekerja lembur.
Tahun 1968 saat produksi batik meningkat ada seorang saudagar batik di Kampung Klaseman Laweyan yang cukup dermawan, mengijinkan penduduk sekitar untuk menonton siaran televisi hitam putih TVRI setiap malam minggu di pendopo rumahnya. Tentu saja untuk menonton televisi gratis hanya dengan syarat ada yang mau membantu melipat kain batik yang belum jadi. Begitu pekerjaan melipat kain batik selesai barulah pesawat hitam putih ukuran 20 inchi dihidupkan, kami pun lalu menonton siaran televisi. Siaran langsung TVRI tahun 1969 yang cukup bersejarah bagi umat manusia bumi tatkala pendaratan manusia pertama Neil Amstrong ke permukaan bulan berlangsung dengan selamat dan sukses.
Sumber gambar : www.kampoenglaweyan.com
17.09
Eni Indaryati




0 komentar:
Posting Komentar